Modus Gila "Sucikan Rahim": Pimpinan Ponpes Cabuli 20 Santriwati Demi Keturunan Sholeh, LPA Mataram Ungkap Fakta Mengerikan
MATARAM, 01/11/2025 – Dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan yayasan pondok pesantren (ponpes) di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan inisial AF (60), kembali mencuat setelah dikuak oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram. AF diduga telah mencabuli sedikitnya 20 santriwati dan alumni ponpes selama periode 2016 hingga 2023 dengan modus manipulatif yang menjanjikan "keberkatan rahim" agar keturunan korban menjadi anak yang sholeh atau bahkan wali.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa modus operandi AF sangat manipulatif. Ia menjanjikan "keberkatan rahim" yang diklaim akan membuat para korban melahirkan anak-anak yang sholeh. Berdasarkan data LPA, sekitar 10 korban diduga mengalami persetubuhan, sementara sisanya mengalami pencabulan. Joko menegaskan bahwa seluruh korban masih berstatus anak-anak saat peristiwa terjadi.
"Yang diduga mengalami persetubuhan sekitar 10 orang, sisanya mengalami pencabulan. Semuanya masih anak-anak saat kejadian," jelas Joko Jumadi, Ketua LPA Kota Mataram.
Modus dan Perkembangan Hukum
Aksi bejat ini dilaporkan dilakukan AF dengan cara mengajak korban secara individual ke ruang kelas, seringkali pada tengah malam sekitar pukul 01.00 atau 02.00, dan memanipulasi mereka secara psikologis.
Setelah kasus ini terungkap, AF telah dicopot dari jabatannya dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual oleh Polresta Mataram, yang kemudian langsung melakukan penahanan. Proses peradilan kasus ini dilaporkan sudah berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Respons Publik dan Sorotan Terhadap Pernyataan Pejabat
Kasus ini, yang sempat viral sebelumnya, kembali menjadi perhatian publik di media sosial, memicu gelombang kemarahan dan kritik. Banyak netizen yang menuntut keadilan dan menyoroti pihak berwenang, termasuk Kementerian Agama (Kemenag).
Sorotan tajam tertuju pada pernyataan Menteri Agama yang belakangan menyebut kasus kekerasan seksual di pesantren sebagai jumlah yang "masih sedikit" dan terkesan dibesar-besarkan oleh media. Pernyataan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk pengamat pendidikan dan aktivis.
Guru Gembul, seorang pengamat yang vokal, mengkritik keras pernyataan tersebut, dengan mengacu pada data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Menurut JPPI, terdapat 130 laporan kekerasan seksual di pesantren dalam enam bulan pertama tahun 2025 saja.
"Bayangin ya, setiap dua hari sekali ada satu kasus kekerasan seksual di pesantren, masak dibilang sedikit! Itu bukan angka kecil, Pak. Dan malah banyak kasus yang nggak diliput media," tegasnya.
Kritik ini menekankan bahwa kekerasan seksual di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, bukanlah isu remeh atau "sedikit", melainkan masalah serius yang memerlukan penanganan dan pembersihan internal yang mendesak, alih-alih pembelaan yang berpotensi melindungi pelaku dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan agama.
(ZI/YA)

Posting Komentar