Menguak Kisah Waluyo Hadi: Maestro Seniman Jepara Pencipta Patung Kartini Ikonik

Daftar Isi
Foto : Waloeyohadi

Jepara, Zonaintiem.com – Dilansir dari Suarabaru.id Siapa tak kenal Patung Kartini yang sedang menggandeng seorang gadis kecil sambil membawa obor di Jepara? Tugu ikonik ini ternyata adalah mahakarya dari maestro seni Jepara, Waloeyohadi, atau yang lebih akrab disapa Waluyo Hadi.

Namun, jejak seniman serba bisa yang juga membuat patung setengah badan Kartini di depan Museum R.A. Kartini ini seakan mulai samar setelah wafat pada tahun 2016. Baru-baru ini, sang anak dan menantunya, Epsilon Eridani (Dani) dan Sunaryo, secara eksklusif membagikan kisah dan filosofi di balik terciptanya masterpiece tersebut.

Lahir dari Lomba dan Sketsa Keluarga

Ditemui di kediaman pribadinya di Desa Senenan (22/1/2025), Dani mengungkapkan bahwa Patung Kartini tersebut dibuat sekitar tahun 1978, pada masa kepemimpinan Bupati Sudikto.

“Awal bapak membuat patung Kartini itu sekitar dekade 70-an saat Bupatinya Pak Sudikto,” kata Epsilon Eridani, anak kedua Waluyo.

Kisah pembuatannya pun unik. Pada peringatan Hari Kartini 21 April 1978, diadakan lomba. Pemenang yang wajahnya paling mirip dengan Kartini dijadikan model. Sementara, model untuk figur utama ternyata berasal dari keluarganya sendiri.

“Yang dijadikan model bentuk tubuh patung Kartini adalah ibu. Dan saya pada waktu itu masih berusia 8 tahun yang dijadikan model sebagai gadis kecil yang digandeng Kartini,” kenang Dani.

Bahkan, detail kecil seperti gelang karet yang dikenakannya saat itu pun diabadikan dalam sketsa dan cetakan gypsum patung.

Filosofi "Wiwitan" dan Kebangkitan Seniman

Patung ini bukan sekadar monumen, melainkan kaya akan filosofi. Patung Kartini yang memegang obor dimaknai sebagai penerang jalan. Posisi patung yang menghadap ke timur (meski sedikit serong ke utara) juga memiliki arti mendalam.

“Dalam falsafah Jawa, Bapak mengartikan arah timur atau dalam bahasa Jawa wetan adalah wiwitan atau permulaan,” jelas Dani. “Maka patung Kartini beserta gadis kecilnya dihadapkan ke arah timur (wetan) sebagai permulaan kebangkitan seniman Jepara.”

Totalitas Seni, 'Tombok' Biaya

Mengenai bayaran dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara kala itu, Dani menuturkan sang ayah menggunakan seluruh honor untuk membayar rekan-rekan dari Sanggar Matahari yang ikut membantu pengerjaan.

“Bisa dikatakan Bapak malah tekor, patung sudah jadi uang habis,” ujar Dani sambil tertawa, menunjukkan totalitas Waluyo Hadi dalam berkesenian. Para seniman Sanggar Matahari sendiri bersemangat membantu karena merasa bangga dapat terlibat membuat ikon untuk Kota Jepara.

Cita-Cita yang Belum Terwujud

Meski telah tiada, Waluyo Hadi masih meninggalkan cita-cita besar yang belum terlaksana. Menantu Waluyo, Sunaryo, menambahkan bahwa salah satu keinginan mendiang adalah mempamerkan karya-karya Hadi Bersaudara (Waluyo Hadi bersama saudaranya, Utoyo Hadi dan Handono Hadi) dalam satu pameran.

Selain itu, Waluyo juga bercita-cita menghidupkan kembali Sanggar Matahari yang didirikannya pada tahun 1963. Sanggar ini didirikan dengan tujuan mulia, yakni menampung semua seniman tanpa memandang latar belakang politik, di tengah konflik politik yang sensitif pada masa itu.

Kisah Waluyo Hadi ini menjadi pengingat bahwa di balik ikon kota, ada dedikasi dan filosofi mendalam dari seorang maestro yang mendedikasikan hidupnya untuk seni di Jepara.


Karya seni lain Waluyo Hadi yang menjadi koleksi museum R.A. Kartini, termasuk lukisan berjudul “Muara”, membuktikan bahwa jejak seniman ini masih abadi.

(ZI/YA)

Posting Komentar